Tradisi Pemujaan Leluhur Yang Hilang Nias

    Pada pertengahan Februari 2007 saya berkesempatan datang ke Pulau Nias, sebuah pulau kira-kira seluas Pulau Bali di sebelah barat Sumatera. Saya mengunjungi desa-desa tradisional di Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Berdasarkan informasi dan rekan-rekan saya yang telah lebih dahulu berkunjung ke sana, di Kecamatan Teluk Dalam setidak-tidaknya masih terdapat 16 desa tradisional. Desa-desa tradisional di Nias Selatan ditandai dengan letaknya di punggung bukit atau dataran yang tinggi, rumah-rumah didirikan berderet memanjang, saling berhadapan dengan halaman desa di tengahnya, yang diperkeras dengan lantai batu. Di bagian gerbang masuk desa senantiasa terdapat tangga batu yang curam. Mengapa desadesa tradisional itu didirikan di atas punggung bukit? Konon dahulu antara desa yang satu dengan desa yang lain sering terjadi peperangan, sehingga letaknya yang di punggung bukit dimaksudkan untuk benteng pertahanan dan menghambat musuh yang datang menyerang.
    Di samping pola permukiman desanya yang unik, Kabupaten Nias Selatan juga dikenal dengan budaya megalitiknya. Ciri-ciri dan budaya megalitik ditandai dengan tradisi penggunaan batu-batu besar sebagai prasarana pemujaan kepada arwah nenek moyang, seperti menhir (tugu batu), meja batu, peti kubur batu, dan lain-lain. Di samping menggunakan batu-batu megalitik, pemujaan kepada leluhur juga diwujudkan dalam bentuk patung-patung dan kayu. Kepercayaan yang melatar-belakangi tradisi megalitik adalah : kepercayaan adanya kekuatan yang menguasai alam semesta, adanya kehidupan setelah kematian, dan adanya hubungan antara orang yang meninggal dengan yang masih hidup. Namun di Nias Selatan, batu-batu megalitik tersebut tidak hanya berfungsi untuk prasarana pemujaan kepada arwah nenek moyang, tetapi sekaligus juga menandai status sosial seseorang. Jenis-jenis batu megalitik yang ada di Nias Selatan, antara lain batu nitaruo (batu tegak), daro-daro nicholo (meja bundar), kursi batu, furo newali (batu pusat desa), dan lain-lain. Batu-batu tersebut diletakkan di depan rumah, menghadap ke halaman desa. Di samping itu terdapat batu-batu yang merupakan simbol binatang, seperti buaya, cicak, dan lasara (semacam naga dalam mitologi Nias). 


    Desa tradisional pertama yang saya datangi adalah Desa Bawomataluwo. Ketika akan menginjakkan kaki di Desa Bawomataluwo, yang terbayang dalam benak saya adalah sebuah desa tradisional dengan rumah-rumah adat yang cantik dari batu-batu megalitik yang tertera rapi di depan rumah-rumah mereka. Namun, pemandangan yang saya lihat sungguh bertolak belakang. Batu-batu megalitik tersebut digunakan sebagai tempat menjemur pakaian, gabah, kelapa, dan benda-benda lainnya. Seolah-olah sudah kehilangan fungsinya sebagai media pemujaan. Di samping itu batu-batu megalitik tersebut kondisinya kotor dan berlumut tidak terawat karena tidak pernah dibersihkan oleh para pemiliknya. 

    Ketika saya menanyakan kepada masyarakat tentang arti dan masing-masing bentuk batu megalitik tersebut, tidak seorangpun mampu menjawab. Tidak juga beberapa tokoh adat yang saya temui. Mereka hanya mengatakan bahwa batu-batu megalitik tersebut hanya sebagai sisa-sisa peninggalan nenek moyang mereka ketika masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ada kesan bahwa mereka malu mengakui sebagai keturunan masyarakat Nias kuno yang masih menganut kepercayaan animisme-dinamisme. Timbul pertanyaan dalam hati saya, mengapa masyarakat Nias ini sudah tidak mengenali lagi sistem kepercayaan nenek moyangnya sendiri? Ternyata hal ini tidak terlepas dari pengaruh agama Kristen Protestan dan Katholik yang diperkenalkan oleh para misionaris pada masa penjajahan Belanda, dan sekarang menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Nias Selatan. 

    Masyarakat Nias Selatan juga menolak keras anggapan bahwa kebudayaan merekapun pernah mendapat pengaruh Hindu-Budha. Mungkin anggapan ini juga dipropagandakan para misionaris Kristen dan Katholik dengan maksud menunjukkan bahwa hanya kedua agama itu saja yang dapat diterima oleh masyarakat Nias, sedangkan agama lain tidak. Para pedagang Islam pun pernah mencoba menyebarkan Islam ke masyarakat Nias, tetapi tidak berhasil. Penyebabnya, agama Islam melarang umatnya memakan daging babi, sementara dalam masyarakat Nias babi justru banyak disembelih dan dimakan pada acara-acara pesta adat maupun upacara adat.
    Namun di bagian bawah tangga naik gerbang Desa Bawomataluwo terdapat sepasang batu megalitik yang menarik perhatian saya karena bentuknya. Di sebelah kanan tangga naik terdapat batu tegak berbentuk silinder, kecil dan panjang, dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Ujung atas batu itu dibentuk menyerupai kepala alat kelamin laki-laki. Sedangkan batu disebelah kiri berbentuk silinder besar tetap pendek, menyerupai tambur atau genderang. Pada salah satu sisinya terdapat ceruk yang bentuknya menyerupai alat kelamin perempuan. Menurut masyarakat sekitar, batur tegak itu dahulu digunakan untuk meletakkan mahkota raja, sedangkan batu berbentuk tambur digunakan untuk
    memenggal kepala musuh. Tetapi meƱurut saya, kedua batu itu adalah sepasang lingga-yoni, lambang kesuburan dalam agama Hindu, yang memang disimbolkan dengan alat kelamin laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, tentunya pernah ada pengaruh Hindu - Budha di Nias.

    Agama Katholik dan Kristen Protestan masuk ke Nias pada pertengahan abad ke 19, dibawa oleh para misionaris yang mendompleng para pengusaha Belanda. Kedua agama ini tidak mentolerir segala bentuk kepercayaan lokal yang berbeda dengan kepercayaan mereka. Akibatnya, segala bentuk upacara yang berkaitan dengan tradisi megalitik dihapuskan, diganti dengan misa dan kebaktian di gereja. Upaya para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen Protestan dan Katholik ke seluruh desa di pelosok Nias membuahkan hasil, ditandai dengan berdirinya gereja-gereja yang megah di pinggiran desa. Sementara patung-patung megalitik dibiarkan teronggok di depan rumah tanpa makna. Benda-benda megalitik tersebut telah kehilangan makna kesuciannya, sehingga tidak mengherankan bila masyarakat lalu menggunakannya sebagai tempat menjemur pakaian. Tidak hanya itu saja. Ketika sedang gencar-gencarnya gerakan misionaris, pembuatan patung-patung leluhur dari kayu dilarang. Sedangkan patung-patung kayu yang masih ada dimusnahkan secara besar-besaran dalam gerakan “Fangesa Dodo Sebua” (pertobatan massal) pada tahun 1916 s.d. 1930.
    Meskipun pembuktian adanya pengaruh Hindu-Budha di Nias masih sangat lemah, karena dapat dikatakan hampir tidak ada tinggalan budaya dari masa Hindu-Budha, namun ajaran agama Hindu sangat mentolerir, bahkan mewajibkan umatnya untuk tidak melupakan jasa-jasa para leluhurnya. Praktik agama Hindu di Bali, Jawa, Kalimantan, maupun tempat-tempat lainnya, tidak melepaskan diri dari penghormatan terhadap leluhur. Hal ini dikarenakan dalam pandangan Hindu, orang yang meninggal arwahnya akan berada di alam bhuwah loka atau alam antara. Hakekat pemujaan terhadap leluhur dimaksudkan sebagai permohonan agar arwah para leluhur dapat segera sempurna, mencapai alam swah loka atau moksa. Arwah leluhur yang belum sempurna dan tidak pernah dimohonkan oleh keturunannya akan kembali berada di alam bhur loka dan akan menjadi faktor pengganggu bagi kehidupan keturunannya.
    Kepercayaan Asli Orang Nias

    Kepercayaan asli orang Nias disebut dengan Pelebegu atau Molehe Adu. Nama Pelebegu tidak dikenal oleh masyarakat Nias sendiri, melainkan diberikan oleh orang luar, sedangkan mereka sendiri menyebut kepercayaan aslinya molehe adu, yang berarti pemujaan kepada roh para leluhur. Mereka menyebut adu nama untuk leluhur laki-laki dan adu nina untuk leluhur perempuan. Para leluhur itu diwujudkan dalam bentuk patungpatung kayu sebagai lambang kehadiran mereka. Namun kuatnya pengaruh agama Kristen dan Katholik, terutama kepada generasi mudanya, menyebabkan penganut pelebegu telah punah pada sekitar tahun 1967. Menurut informasi, sampai dengan tahun 1950- an tradisi megalitik di Pulau Nias dapat dikatakan masih hidup karena beberapa bentuk upacara yang menggunakan media batu-batu megalitik tersebut masih dilakukan oleh masyarakat. Tradisi ini akhirnya hilang lenyap karena dalam pandangan Kristen dan Katholik, pemujaan kepada leluhur adalah sama saja dengan pemujaan kepada setan atau iblis. 

    Di samping melakukan pemujaan kepada leluhur, masyarakat Nias juga mengenal beberapa dewa yang menguasai alam, seperti Lowalangi, Latura Dano, Silewe Nasarata, dan lain-lain. Lowalangi dianggap sebagai raja dan para dewa. Ia menguasai dunia atas dan bertugas menciptakan dunia dan seisinya. Latura Dano adalah dewa penguasa alam bawah, sedangkan Silewe Nasarata adalah istri Dewa Lowahangi Ia adalah dewi penghubung antara dunia atas dan dunia bawah, sekaligus juga penghubungan antara dewa dengan manusia.• WHD No. 491 Nopember 2007.
    Source URL: http://indahrahmadewi.blogspot.com/2010/12/tradisi-pemujaan-leluhur-yang-hilang.html
    Visit Indah Rahma Dewi for Daily Updated Hairstyles Collection

Blog Archive